1. Pengusaha Sukses Penyandang Cacat

Terlahir tanpa memiliki kaki, Sidik selalu menjawab “Alhamdulillah
sejak lahir saya sudah begini” jika ditanya perihal cacat di tubuhnya.
Sidik adalah anak keenam dari sepuluh bersaudara. Keluarganya tergolong
miskin dan untuk menghidupi keluarga, orangtua Sidik hanya mengandalkan
warung kecil di depan rumahnya di Bogor.
Ketika akan melahirkan Sidik, Ibunya pernah mimpi bahwa ia akan
melahirkan anak cacat. Namun anak cacat itu akan membawa berkah dalam
keluarga. “Alhamdulillah, tak lama setelah saya lahir, kata almarhumah
Ibu, Ayah saya langsung mendapat pekerjaan tetap, sehingga bisa
membiayai pendidikan seluruh anak-anaknya hingga SMA.” kata Sidik di
rumahnya yang sederhana di bilangan Cempaka Putih.
Sidik memang lahir dengan kondisi yang memprihatinkan, ia tak
memiliki kedua kaki mulai dari pangkal paha. Sehingga boleh dibilang
tubuhnya hanya separuh. Sebelum menggunakan kursi roda, ia mengayunkan
dua tangan guna menyeret tubuhnya untuk berjalan.
Meski tubuhnya tak sempurna, sejak kecil
Sidik tak pernah mau merepotkan orang. Ia selalu berusaha melakukan
semua aktivitasnya sendiri. Ia juga tak mau dipapah atau digendong,
“Saya tak mau dikasihani orang, saya ingin sukses bukan karena orang
kasihan pada saya, tetapi karena kerja keras saya.” katanya lugas.
Pada tahun 1992, Sidik menikah dengan Siti Rahmah yang juga
penyandang cacat. Dari perkawinan mereka lahirlah tiga anak perempuan
yang sehat dan normal. Belakangan anak kedua mereka meninggal dunia
karena kecelakaan.
Setelah bertahun-tahun bekerja di Yayasan Swa Prasidya Purna tapi tak
menghasilkan materi berarti, Sidik memilih keluar dan mencari pekerjaan
lain. Dengan bekal ijazah diplomanya, ia diterima di sebuah perusahaan
kontraktor sebagai staf personalia. Tapi belum lama ia bekerja, krisis
moneter 98 menghantam dan perusahaannya terpaksa tutup. Maka dimulailah
periode Sidik menjadi pengangguran. Tapi ia tak mau lama-lama
menganggur, Sidik mulai mengikuti berbagai kursus keterampilan yang
diadakan oleh Pemda DKI untuk penyandang cacat. Salah satu kursus yang
memikat perhatian Sidik ialah kursus membuat kerupuk dari singkong.
“Dari belasan orang peserta kursus, hanya saya satu-satunya orang
yang masih bertahan membuat kerupuk sampai sekarang. Yang lain,
tumbang.” ujar Sidik.
Modalnya ketika itu sumbangan dari Pemda DKI sebesar satu juta
rupiah. Bersama istrinya Sidik kemudian memulai usaha membuat kerupuk
dari singkong. “Dulu belum ada merek, plastiknya pembungkusnya masih
polos.” katanya. Pada awal produksi ia memproduksi sekitar 100 bungkus
kerupuk berukuran 2 ons dari bahan baku singkong 10 kilogram. “Namanya
juga pertama, kerupuk dagangan saya baru habis setelah sebulan lebih.”
katanya mengenang.
Prosesnya pembuatan kerupuk singkong terbilang lebih rumit dibanding
membuat keripik singkong. Jika membuat keripik singkong cukup dengan
memotong-motong batang singkong menjadi irisan tipis lalu digoreng dan
selesai. Membuat kerupuk singkong prosesnya adalah singkong yang sudah
dikupas kemudian diparut, parutan itu lalu dibuat menjadi adonan dengan
mencampur berbagai bumbu rasa dan sedikit tepung. Setelah itu adonan
dibentuk kembali menjadi seperti batang singkong dan dijemur. Setelah
adonan sedikit liat, adonan kemudian diiris tipis-tipis. Irisan itu
tidak langsung digoreng, tetapi kembali dijemur sekitar dua hari agar
kering. Setelah kering, irisan kerupuk singkong baru digoreng.
Dari hanya mengolah 10 kilogram singkong, kini Sidik mengolah
sedikitnya 50 hingga 100 kilogram singkong setiap bulannya. Ia juga
sudah punya merek lengkap dengan cap di pembungkus produknya. “Saya beri
nama merek Cap Gurame, ini sama sekali tak ada hubungannya sama ikan
gurame, tetapi gurame adalah singkatan dari Gurih, Renyah, Enak,”
katanya tersenyum. “Kalau nanti ada biaya, merek ini saya mau patenkan.”
tambahnya.
Semua pekerjaan produksi dari mulai membeli singkong hingga
memasarkannya ia kerjakan sendiri dibantu istrinya. Setiap hari ia
keluar masuk kampung menawarkan kerupuk daganganya ke warung-warung atau
koperasi-koperasi di kantor pemerintahan. “Saya menggunakan sistem
konsinyasi atau titip jual, harga dari saya empat ribu, terserah mereka
menjualnya berapa, tapi bisanya mereka jual lima ribu rupiah.” kata
Sidik.
Dari usaha yang ditekuni sejak tahun 1999 ini, memang belum terlalu
banyak menghasilkan materi. Sidik masih tinggal di gedung bekas
tempatnya bekerja di bilangan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Rumahnya pun
hanya terdiri dari tiga petak yang disekat papan tripleks termasuk di
dalamnya ruang produksi kerupuk “Cap gurame” tersebut.
Beruntung ada seorang pengusaha lokal yang melihat kegigihan Sidik
dan akhirnya menyumbangkan sebuah sepeda motor untuk operasional usaha.
“Namanya juga tidak punya kaki, saya sempat bingung juga, bagaimana
mengendarainya?” Tapi Sidik tak kehilangan akal, ia mendesain motornya
agar tuas perseneling dapat dioperasikan dengan tangan. Dengan bantuan
tukang las, jadilah sebuah motor dengan tongkat besi tambahan yang
ditempel di perseneling dan injakan rem. Tak lupa ia juga menempelkan
gerobak disampingnya untuk mengangkut muatan. “Motor itu benar-benar
membantu mobilitas dan produktivitas usaha saya.” ujar Sidik.
Saat ini Sidik terus mengembangkan pemasaran produknya, setiap hari
ia masih berkeliling ke koperasi-koperasi atau warung di seluruh pelosok
Ibukota. Bahkan saat Kabari mewancarainya, dua kali telepon selularnya
berbunyi dari orang yang meminta agar pasokan kerupuk “Cap Gurame”
segera dikirim.
Namun dalam menjalankan usahanya ini, Sidik juga mengalami berbagai
kendala, seperti modal dan permintaan yang terbatas. “Saya ingin sekali
mendapat tambahan modal, atau minimal ada orang yang mau menjadi mitra
usaha untuk mengembangkan bisnis ini. Saya punya mimpi suatu saat
kerupuk saya ini dimakan sama orang Amerika.” ujarnya.
Sidik juga mengaku kesulitan memasok produknya ke pasar modern
seperti supermarket atau hipermaket. “Wah selain bentuknya mesti
perseroan, mereka (para pengelola pasar modern-red) juga meminta deposit
uang mas, jelas kalah sainganlah saya” kata Sidik lugas.
Kalau soal rasa, kerupuk “Cap Gurame” memang gurih dan renyah.
Rasanya yang campuran pedas dan asin cocok dinikmati sebagai cemilan
atau sebagai lauk.
Kini, dari hasil usahanya Sidik mengantungi keuntungan berkisar 1
sampai 2 juta rupiah perbulan. Meski jumlahnya kecil, apa yang diperbuat
Sidik termasuk luar biasa. Dengan keadaan yang terbatas, ia menjadi
entrepreuner sejati. Meminjam rumusnya Pak Ciputra, pengusaha dan dosen mata kuliah
enterpreunership,bahwa Indonesia membutuhkan sedikitnya 20 persen penduduknya menjadi
entepreuner,
barulah menjadi negara makmur, maka Sidik telah memulainya
bertahun-tahun lalu. Jika benar apa kata Pak Ciputra, maka jelaslah
Indonesia membutuhkan orang-orang gigih seperti Sidik.
2. Angkat Martabat Penyandang Cacat Lewat Kain Perca

Irma Suryati mengalami kelumpuhan saat usia 4 tahun akibat polio.
Kehidupannya menuju usia dewasa adalah kisah panjang yang penuh
perjuangan. Irma yang bersuamikan Agus Priyanto, yang juga penyandang
cacat kaki, telah membuktikan bahwa seburam-buram harapan, selalu ada
celah yang bisa membawa berkah dan peluang di masa depan.
Pasangan itu berhasil membangun usaha kerajinan keset dengan modal
kain-kain sisa. Usaha mereka kini sudah sampai ekspor ke beberapa
negara, dan mereka kini memiliki 2.500 pengrajin dan 150 diantaranya
adalah penyandang cacat.
Irma telah menerima banyak penghargaan, antara lain Wirausahawati
Muda Teladan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (2007), Perempuan
Berprestasi 2008 dari Bupati Kebumen (2008), dan Penghargaan dari Jaiki
Jepang, khusus untuk orang cacat.
Pada Awalnya…
Sejak bayi, Irma Suryati sudah menderita layu kaki. Penyebabnya
adalah virus Polio. Meski masih bisa berjalan normal sampai sekolah
menengah atas (SMA), kaki Irma mudah lemas.
“Kalau disenggol, langsung jatuh,” ujar wanita kelahiran Semarang, 1 Januari 1975 ini.
Sejak saat itu, sang ayah menyuruh Irma, menggunakan tongkat untuk
berjalan hingga kini. Kondisi kaki itulah yang mendorong Irma melakukan
sesuatu yang berarti bagi dirinya dan orang lain. Setelah lulus dari
SMAN 1 di Semarang, Irma mencoba membuat keset dari kain perca, benda
sederhana untuk membersihkan telapak kaki.
“Aku mencoba membuat keset dari kain sisa industri garmen,” ujar
Irma. Kebetulan, di dekat rumahnya di Semarang terdapat banyak sisa
kain industri garmen. Kain sisa itu ia jahit menjadi aneka bentuk keset.
Awalnya, keset itu dibuat hanya untuk kebutuhan sendiri. Lambat laun,
karyanya mulai dilirik tetangga. Pasar kecil pun mulai terbentuk.
Keputusan menjadi perajin keset makin bulat ketika ia menikah dengan
Agus Priyanto, penyandang cacat yang jago melukis. Mereka sepakat
membuka usaha kecil pembuatan keset pada 1999. Kala itu, Irma dan Agus
dibantu 5 karyawan.
Ketika usaha mereka mulai berkembang, Irma merasa tak leluasa lagi
menjalankan usaha di rumah orang tuanya. Pada 2002, pasangan muda ini
memutuskan pindah ke Kebumen, kampung halaman Agus. Mereka membeli rumah
di Jalan Karang Bolong kilometer 7, Desa Karangsari, Kecamatan Buayan,
Kebumen. Dari rumah itulah Irma mengendalikan usahanya.
Irma tak mau membuat usaha
ecek-ecek. Ia membentuk usaha
berbadan hukum yang diberi nama Usaha Dagang Mutiara Equipment.
Perempuan itu juga membentuk Pusat Usaha Kecil Menengah Penyandang
Cacat.
“Awalnya susah sekali mengorganisasi orang,” kata Irma.
Namun Irma adalah sosok yang tidak mau mengalah pada keadaan. Ia
mendatangi penduduk dari rumah ke rumah untuk mendorong ibu rumah tangga
menjadi produktif dengan mengajari mereka membuat keset.
“Perempuan sekarang harus berdaya secara ekonomi,” katanya.
Menuai Hasil
Irma juga pernah menanggung sinisme dan cibiran oleh orang-orang yang
melihat usaha itu dengan sebelah mata, apalagi ketika mereka melihat
kaki Irma yang cacat, tapi Irma tak patah semangat. Hasilnya pun mulai
tampak. Ia berhasil mengajak beberapa ibu rumah tangga belajar membuat
keset. Ketika sudah terampil, mereka mendapat pasokan bahan baku dan
mesin jahit dari Irma.
Saat masyarakat mulai menyadari tentang manfaat keterampilan yang
diberikan Irma, minat menjadi pembuat keset pun tak terbendung. Irma
membuat koperasi simpan pinjam pada 2003 untuk menampung kegiatan
ekonomi 1.600 pembuat keset hasil binaannya.
Anggota koperasi keset ini tersebar di 11 kecamatan di Kebumen. Irma
juga menggunakan jaringan pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK).
Akhirnya, usaha keset ini merambah ke Banyumas dan Solo. Bahkan Irma
menggandeng kelompok waria dan pekerja seks komersial di Purwokerto.
Hasilnya, 20 waria dan pekerja seks komersial bisa membuka gerai di
perumahan Limas Agung, Purwokerto.
Tiap bulan, perajin mendapat kiriman kain sisa sebagai bahan baku.
Irma mendatangkan 10 ton kain sisa dari Semarang setiap bulan. Omzet
bulanannya bisa mencapai Rp 40-50 juta.
Untuk strategi pemasaran, Irma mengandalkan 15 penjual. Selain itu,
ia juga menitipkan barang produksinya di beberapa gerai yang tersebar di
banyak kota. Salah satunya adalah di
showroommilik Kementerian Pemuda dan Olahraga di Jakarta. Kebetulan, Irma sering bertemu dengan Pak Menteri, Adyaksa Dault.
“Saya juga diajak oleh Menpora waktu itu, Pak
Adhyaksa Dault ke Melbourne, Australia mewakili Indonesia dalam pameran
kerajinan. Padahal pameran itu sebetulnya untuk umum, bukan penyandang
cacat. Benar-benar membanggakan karena kami penyandang cacat setara
dengan orang normal,” ungkapnya.
Ekspor Produk
Selain memasarkan produk di dalam negeri, Irma juga memasarkannya ke luar negeri, yakni Austarlia, Jerman, Jepang, dan Turki.
“Selama ini masih memakai jasa orang lain. Ke depan nanti, saya ingin mengekspornya sendiri agar lebih untung,” tutur Irma.
Irma mengadakan pertemuan tiap tiga bulan sekali untuk menjaga
kualitas produknya. Forum itu diikuti koordinator tiap kecamatan. Selain
membicarakan kualitas produk, ia juga memperkenalkan inovasi baru
kerajinan tangan.
Saat ini, Irma memproduksi 42 macam keset. Ada yang berbentuk elips,
binatang, atau bunga. Di pasaran, keset-keset itu dijual Rp 15 ribu
untuk konsumen dalam negeri, dan Rp 35 ribu untuk konsumen luar negeri.
Sukses membuat keset tak lantas membuat ibu lima nak ini
ongkang-ongkang kaki. Ia dan kawan-kawannya terus mengembangkan
kerajinan lain, misalnya membuat kotak tisu dari lidi.
“Ada orang Turki yang memesannya,” ujar Irma.
Kini Irma membuat desain sajadah dari tikar pandan. Kebetulan, di
Kebumen banyak perajin pandan yang belum mampu membuat kerajinan dengan
bahan baku anyaman pandan.
“Padahal kalau dibentuk menjadi kerajinan, nilai jualnya akan meningkat,” ujar Irma.
Ironisnya, pengikut Irma justru kebanyakan datang dari luar desanya.
Bahkan banyak penduduk tidak mengenal sosok Irma, meskipun mereka
tinggal di desa yang sama.
“Oh, orang yang cacat itu ya?” kata salah satu tetangga Irma ketika ditanya
Tempo.
Sebagai penyandang cacat, Irma bukanlah orang yang cengeng.
“Cacat bukan halangan untuk berkarya,” kata
dia. Irma mengaku sering sedih melihat para penyandang cacat yang masih
terdiskriminasi, terutama yang ingin menjadi pegawai negeri sipil.
Karena itulah Irma memutuskan membuka lapangan kerja sendiri.
“Rencananya saya akan membangun pabrik di belakang rumah, khusus untuk orang cacat,” ujar Irma.
Rencana ke Depan
Irma kini membangun rumah bagian belakang dengan ukuran sekitar 7 m x
9 m. Meski tergolong kecil, tetapi rumah yang hampir selesai tersebut
akan dipakai untuk menampung para penyandang cacat. Mereka bakal bekerja
dan diberikan tempat menginap.
“Kami memang menyiapkan tempat bagi penyandang cacat
yang rumahnya jauh. Jika mau menginap, silakan saja, tetapi tempatnya
juga sederhana seperti ini. Di sini bisa dijadikan pusat usaha
penyandang cacat. Niat saya memang bagaimana para penyandang cacat bisa
lebih kreatif dan mereka mampu mandiri. Itu secara langsung akan
mengangkat martabat penyandang cacat dan mengubah pandangan masyarakat
kalau penyandang cacat hanya bisa mengiba dengan menjadi seorang
peminta-minta,” tandasnya.
3. Profil Sukses Pebisnis Online Meskipun Cacat

Saya sudah sering membaca nama Habibie Afsyah dalam dunia Bisnis
Online Indonesia. Kabarnya beliau adalah salah satu orang Indonesia
(cacat) yg berhasil mendapatkan komisi $2000 dari Amazon.com .
Namun berita tsb hanya Saya baca sepintas saja tanpa keinginan untuk
mengetahui lebih lanjut siapa sebenarnya sosok Habibie Afsyah. Sampai
suatu ketika Saya langsung tertarik membaca profilnya setelah dapat buku
gratis berjudul “KELEMAHANKU ADALAH KEKUATANKU”.
Ceritanya buku gratis tsb saya dapat dari Suwandi Chow ketika upgrade
keanggotaan di KayaDariFacebookMarketing menjadi member berbayar. Plus
saya minta dikirimkan seluruh materi KayaDariFacebook Marketing yg
berjumlah 12 video dan Ebook tsb ke rumah dg menambah ongkos kirim.
Proses nyampainya CD materi KayaDariFacebookMarketing ke rumah Saya
sangat cepat, hanya 1-2 hari setelah membayar ongkos kirim dan
konfirmasi pembayaran.
Selain buku gratis tentang Profil Habibie Afsyah, didalam paket CD tsb
juga disertakan buku “Blueprint Kesuksesan” karya Motivator Tommy
Siawira. Sungguh harga upgrade menjadi member berbayar sangat seimbang
dengan materi yg didapat dan Bonus 2 Buku Fisik yg sangat memotivasi.
Sebenarnya 2 Buku Motivasi tsb bisa saja Anda beli di Toko Buku
Gramedia, namun dengan upgrade menjadi member berbayar di
KayaDariFacebookMarketing (plus ongkos kirim), kita tinggal menerima
buku tsb di rumah.
Kenapa Saya mau Upgrade keanggotaan di KayaDariFacebookMarketing?
Karena Saya mau belajar mendapatkan Prospek/member dari kelimpahan
anggota facebook yg sudah berjumlah lebih dari 300 juta orang. Kalau
anggota Facebook dari Indonesia sudah mencapai 10 juta lebih. Saya
melihat Cara yg dipakai Suwandi Chow telah meningkatkan jumlah
pengunjung websitenya secara drastis dan gratis lagi.
Berbekal panduan Video dan Ebook Suwandi Chow, Saya sedang menyusun
halaman “Fan page” untuk BisnisDavit dan “Group” untuk
RahasiaWebsitePemula di Facebook. Namun Saya akui Saya masih belajar
sambil jalan..he..he..he..!
Oke, kembali ke Buku Riwayat Hidup (Otobiografi) tentang Habibie
Afsyah yg mendorong Saya menulis Artikel di Blog ini. Buku Otobiografi
yg ditulis Habibie Afsyah tsb menjelaskan riwayat Beliau dari mulai
lahir, tantangan hidup sebagai orang cacat, hingga menemukan dunianya
sukses menjadi pebisnis online.
Anda mungkin akan kaget jika mengetahui bahwa Habibie Afsyah telah
sukses menjadi pebisnis Online pada usianya 21 tahun (saat bukunya
dibuat thn 2009). Di usia mudanya, Habibie sudah mendirikan “Yayasan
Habibie Afsyah” untuk mengangkat kehidupan para penyandang cacat seperti
dirinya. Habibie terlahir sebagai bayi montok dan sehat yg membuat
orangtuanya tidak menaruh curiga terhadap keadaan fisik anaknya.
Baru pada Usia 8 bulan, orang tuanya mulai curiga karena Habibie kecil
belum juga bisa merangkak seperti bayi normal lainnya. Mulailah Habibie
di bawa ke Dokter oleh Ibunya untuk mengetahui penyebab terlambatnya
perkembangan fisik tsb.
Setelah dibawa ke berbagai Rumah Sakit dan bertemu dengan banyak dokter,
diketahui ternyata Habibie menderita penyakit Muscular Dystrophy
Progressive tipe Backer.
Ada kelainan di otak kecil Habibie yg menyebabkan perkembangan syaraf
motoriknya terganggu, sehingga pertumbuhannya terhambat dan mengalami
kelainan. Bahkan ada Dokter yg memprediksi umurnya hanya sampai 25 tahun
saja.
Habibie sering dibawa ke mana-mana oleh Sang Ibu untuk berobat, baik ke
dokter spesialis, maupun ke pengobatan alternatif. Semua dilakukan
Ibunya agar mendapatkan kesembuhan bagi Sang Anak. Bahkan Habibie sempat
dibawa terapi khusus dengan memasukkan tubuhnya ke dalam semacam kotak.
Kakinya dimasukkan sepatu khusus dengan penyangga besi.
Namun Habibie merasa proses terapinya sangat menyakitkan. Dalam setiap
terapi sekitar 15-30 menit itu Habibie kecil selalu menangis ; “Sakit
Ma, sakit. Udah ma, Dede ngak mau,” jeritnya. Karena terapi yg menurut
Habibie menyakitkan tersebut, pangkal pahanya sempat terlepas dari
tulang mangkoknya. Dan hal itu membuat pertumbuhan kakinya menjadi tidak
seimbang. Kaki Habibie menjadi panjang sebelah.
Namun keadaan cacat telah mengajarkan Habibie untuk ikhlas menerima
keadaan yg diberikan Tuhan. Hal itu bisa dia terima dengan apa adanya.
Yang membuat sangat berat adalah tantangan hidup untuk mendapatkan
perlakuan layak dari lingkungan sekitar. Memang Beliau sangat merasakan
diskriminasi ketika mau mendaftar ke sekolah, mau menikmati liburan di
tmp wisata bersama keluarga, dan lain sebagainya.
Sebagian sekolah beralasan belum memiliki fasilitas untuk menampung Anak
Cacat yg berkursi roda untuk belajar di sekolah normal.Ibu Habibie lah
yg berjuang keras ke sana-ke mari untuk mencari tempat pendidikan buat
anaknya. Termasuk suatu ketika mendaftarkan Habibie pada Kursus Dasar
Internet Marketing selama 2 hari dg pengajar dari Singapura, Mr. Fabian
Lim.
Ceritanya setelah bergelut dengan perjuangan untuk bisa lulus sekolah
hingga SMA, Habibi tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
Dia didaftarkan ibunya ikut Kursus Dasar Internet Marketing. Biayanya
lumayan besar, Rp. 5 juta. Usai Kursus Dasar Internet Marketing tsb,
Habibie mengaku tidak tahu harus melakukan apa lagi karena dia merasa
benar-benar buta tentang bidang yg baru dipelajarinya itu. Dia merasa
nol besar untuk bidang internet marketing ini. Apalagi kursus yg
diberikan dalam Bahasa Inggris dan memakai Alih bahasa (tanslator).
Habibie memang sering membuka internet, namun itu hanya untuk bermain
game online sebagai pengisi kesibukannya di rumah. Katanya Komputer yg
dipakai juga masih numpang di komputer kakaknya.
Belum habis kebingungan Habibie, Selang beberapa bulan kemudian, habibie
diikutkan kembali oleh ibunya untuk ikut Kursus tingkat lanjut
(advanced) Internet Marketing dg pembicara yg sama dari Singapura,Fabian
Liem. Sebenarnya Habibie sempat menolak karena tidak enak melihat
Ibunya harus menjual Mobil sewaannya hanya agar dia bisa ikut pelatihan
tsb. Karena Biaya Kursus tingkat lanjut itu mencapai Rp. 15 Juta.
Dia sempat berdebat dengan ibunya, namun Ibunya tetap memberikan
semangat kepada Habibie dan mendorongnya untuk bisa berhasil. “Anggap
saja kamu kuliah”, begitu kata mamanya. Akhirnya dengan dorongan
mamanya, Habibie mau juga ikut kursus mahal itu.
Di kursus advanced tsb, habibie mengikuti “kuliah” setiap 2 minggu
selama 3 bulan. Di tempat kursus inilah pertama kalinya Habibie
berkenalan dengan Suwandi Chow, alih bahasa (Translator) kursus itu dari
Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia.
Setelah belajar 3 minggu, Habibie berhasil mendapatkan penjualan pertama
dari Amazon.com dg Produk Game PS3. Meski komisinya cuma $24, Habibie
senangnya bukan kepalang karena baru kali ini bisa menghasilkan uang
dari internet. Pada komisi pertama ini Habibie sebenarnya rugi karena
biaya iklan lebih besar dari komisi.
Namun Habibie terus berusaha sampai dia bisa mendapatkan komisi $124,
$500, $1000, dan $2000 dari Amazon. Semua memerlukan proses belajar dan
praktek secara konsisten. Uang hasil penghasilan dari Amazon dipakai
Habibie untuk mengikuti kursus-kursus internet marketing lain, seperti
Eprofitmatrix, Dokterpim, dan Indonesia Bootcamp.
Dari kursus dan praktek internet marketing, Habibie sudah bisa
menerbitkan Ebook Panduan Sukses dari Amazon dan membuat situs Listing
Rumah (rumah101.com). Habibie juga didaulat menjadi Trainer di
Eprofitmatrix bersama Gurunya, Suwandi Chow. Itulah pertama kali Habibie
menjadi Trainer seminar meskipun usianya masih 20 tahun.
Sejak itu, Habibie sering diundang menjadi pembicara seminar internet
marketing di kampus-kampus, hingga diliput koran, tabloid, dan majalah.
Puncaknya Habibie diundang pada acara Kick Andy di Metro TV pada
episode “Kasih Tiada Bertepi”.
4. Dari Pemungut Bola jadi Pengusaha Sukses

Saat ditemui Monang tengah sibuk mengepak kerupuk jangek ke dalam
plastik. Itu salah satu usaha sampingannya di Jalan SMAN 2 Medan kawasan
Polonia yang belum lama dilakoninya, sembari mengontrol para pekerja
yang terlihat sibuk memaku triplek dengan desain sebuah rumah kecil.
Itulah usaha utamanya berupa Rumah Barbie. Miniatur rumah yang biasa
digunakan anak-anak untuk boneka barbie. Usaha yang telah dilakoninya
sejak 2002.
“Beginilah ini usaha saya sejak kembali ke Medan tahun 2002. Saya
lihat di sini kan belum ada seperti ini. Saya temukan ide ini melihat
usaha kawan-kawan di Jawa. Jadi di awal saya langsung perkenalkan dengan
membuka tiga cabang. Syukurnya banyak yang respon.
Biasanya pembeli dari kalangan bermobil yang ingin membelikan buat anaknya,” kata Monang.
Dengan sedikit modifikasi, rumah Barbie dari bambu yang diganti
dengan triplek ini mengundang banyak peminat. Tidak hanya pembeli dari
Medan, Monang menyebut produknya bisa sampai ke daerah-daerah lain di
Sumut maupun provinsi luar seperti Pekanbaru, Jambi, Surabaya, dan
Kalimantan Timur.
“Kebanyakan sih dari Medan. Tapi saya juga pasarkan di luar. Biasanya
saya produksi 30-40 rumah sebulan. Juga bisa permintaan sesuai selera,”
ungkap pria kelahiran Kisaran ini. Ada tiga jenis rumah barbie yang
ditawarkan sesuai ukuran dan jumlah lantai rumah. Selain itu Monang juga
membuat kuda-kudaan, miniatur bus ALS. Ia juga menjual miniatur
perabotan untuk menghias rumah barbienya. “ Yang paling kecil Rp350 ribu
satu lantai. Ada yang Rp700 ribu dua lantai dan Rp800 ribu lebih lebar.
Ada juga kuda-kudaan dan mobil-mobilan,” terangnya.
Namun Monang tidak dengan mudah sampai di level ini. Ia memulainya
dengan penuh kerja keras. Beberapa kali ia jatuh namun selalu punya
semangat untuk bangun kembali. Sebelum menjadi pengusaha ia lebih dulu
berkarir sebagai atlet cacat. Berawal dari pemungut bola di lapangan
tenis, Monang bangkit dari kecelakaan yang merenggut satu kakinya. “Saya
dulu SD merantau ke Jakarta. Kabur naik truk mengikuti jejak kawan yang
berdagang di sana. Sekitar tahun 80-an saya ditawari kerja memungut
bola tenis lapangan. Pagi jam 6 udah mulai kerja. Sorenya lagi,”
katanya.
Keadaan ini membuat Monang mulai menyukai tenis. Diberikan raket oleh
seseorang yang biasa berlatih di lapangan itu, Monang mulai berlatih
dengan kursi rodanya. “Karena kami kerja disitu kan bebas pakai
lapangan. Selagi tidak ada yang main. Ya sudah saya latihan dengan
sesama pemungut bola yang lain. Lambat laun saya mulai bisa main,”
ujarnya.
Dua tahun berselang ia mencoba peruntungan ikut Kejurnas Piala Ibu
Tien Soeharto untuk cabang tenis kursi roda. “Saya berani-beranian ikut.
Karena orang-orang di lapangan tenis menganggap saya bisa. Saya membela
tim DKI. Masuk final dengan sesama DKI. Dari situ saya menang,”
kenangnya. Sejak itu, pria kelahiran 10 Oktober 1962 ini pun serius
menjalani karir sebagai atlet tenis meja kursi roda. Puncaknya ia
terpilih mewakili Indonesia untuk berlaga di luar negeri. Di antaranya
Thailand, Korea, Jepang. “Tahun 1995 saya main ke Belanda, Melbourne
baru Olimpiade antar orang cacat di Inggris. Tapi saya gugur saat
seleksi di Malaysia memperebutkan kejuaraan di Amerika tahun 1997,”
ungkapnya.
Dari situ ia mendapat perbekalan untuk membuat rumah boneka. Termasuk
juga pembekalan di Yayasan Orang Cacat di Jakarta. Monang pun
memutuskan hijrah ke Medan. Namun ia tak lantas meninggalkan karirnya
sebagai atlet. Ia diminta memperkuat Sumut berlaga di PON antar orang
cacat di tahun 2002 di Palembang. “Disitu sudah buat rumah Barbie.
Tapi saya mendapat tawaran dari dikontrak jadi atlet Sumut karena
saya juga kelahiran Kisaran. Saya mengikuti dua cabang olahraga. Cabang
tenis saya meraih emas dan lari kursi roda meraih perunggu,” tambahnya.
Setelah itu ia mulai memutuskan pensiun jadi atlet. Sempat menjadi
sopir taksi lintas kota, berbekal uang bonus dari Alm Tengku Rizal
Nurdin (ketika itu Gubernur Sumut, Red) Monang akhirnya konsentrasi
mengembangkan usahanya. “Waktu itu dapat Rp30 juta. Dengan tabungan saya
juga sebagai atlet saya kembangkan usaha ini,” lanjutnya.
Begitupun cobaan kembali hadir. Kebakaran lima tahun silam
menghanguskan seluruh usahanya. Namun ia bangkit dan kembali
merintisnya hingga berkembang seperti saat ini. Bersama istri dan dua
orang anaknya, Monang kini bisa tersenyum dengan kerja kerasnya. Ia juga
bisa membuka lowongan kerja untuk lima pekerjanya. “Waktu kebakaran
itu saya ikhlas saja. Yang penting keluarga saya selamat. Yang penting
tetap semangat dan pantang menyerah,” pungkasnya.
5. Sukses Membuka Usaha Setelah Bangkit Dari Bencana

Memiliki kekurangan fisik ternyata tidak membuat Tarjono Slamet
menyerah pada keadaan. Lelaki berusia 39 tahun ini sempat merasa putus
asa ketika Ia harus kehilangan kaki kirinya dan mengalami kerusakan
syaraf pada sepuluh jari tangannya, akibat kecelakaan kerja yang
dialaminya pada tahun 1990.
Saat itu Tarjono Slamet yang bekerja di PLN unit Klaten sedang
memperbaiki jaringan sebuah menara bertegangan tinggi bersama dengan
kedua rekannya. Sayangnya takdir berkehendak lain, pekerjaan tersebut
tidak berjalan lancar dan tubuh Tarjono kesetrum listrik tegangan tinggi
yang mengakibatkan dirinya tak sadarkan diri selama satu hari satu
malam dan mengalami cacat permanen hingga sekarang ini.
Meskipun awalnya cukup berat bagi Tarjono untuk menerima musibah
tersebut, namun Ia tidak lantas berpangku tangan dan menjadi beban bagi
orang lain. Dengan dukungan penuh dari keluarga dan para sahabatnya,
Tarjono mulai bangkit dan ikut bergabung di sebuah yayasan rehabilitasi
penyandang cacat di kota Yogyakarta. Disanalah Tarjono mendapatkan
pemulihan mental dan berbagai pendidikan serta keterampilan khusus yang
kini menjadi modal utamanya dalam menjalankan bisnis kerajinan kayu.
Perjalanan Membuka Usaha
Setelah mendapatkan bekal keterampilan ditambah dengan pelatihan yang
diikutinya hingga Selandia Baru, Belanda, dan Australia, Tarjono
memutuskan untuk mendirikan CV. Mandiri Craft yang memproduksi aneka
macam alat peraga edukatif yang terbuat dari kayu. Dengan modal uang
sebesar 150 juta yang didapatkannya dari sisa tabungan selama bekerja di
PLN, Tarjono merekrut 25 orang karyawan yang semuanya juga penyandang
cacat dari daerah Semarang, Gunung Kidul, Magetan, dan Banyuwangi.
Bisnis tersebut berkembang cukup pesat hingga berhasil mendatangkan
omset penjualan setiap bulannya 150 juta rupiah pada tahun 2005 sampai
awal tahun 2006. Namun, keberhasilan tersebut harus kembali diuji dengan
bencana gempa bumi 5,9 SR yang meluluhlantakkan sebagian besar kota
Yogyakarta, termasuk juga tempat usaha milik Tarjono. Mesin-mesin, serta
satu container produk siap ekspor hancur tertimbun bangunan yang roboh
karena bencana tersebut, bahkan diperkirakan kerugian yang ditanggung
Tarjono saat itu mencapai angka milyaran rupiah.
Dengan modal usaha dan semangat yang masih tersisa, Tarjono mencoba
mengajak rekan-rekannya untuk kembali bangkit menata ulang Mandiri Craft
yang sempat hancur terkena bencana gempa bumi 5 tahun silam. Kegigihan
tersebut ternyata membuahkan hasil yang manis, Tarjono mendapatkan
bantuan dari donatur di berbagai negara, seperti Belanda, Malaysia, dan
Jepang.
Semangat, ketekunan, serta kemandirian Tarjono dalam memberikan
kesejahteraan bagi 55 orang karyawannya yang semuanya penyandang cacat,
mengantarkan lelaki kelahiran Pekalongan ini sebagai penerima
Danamon Award 2010 dan
berhasil memajukan usahanya hingga menembus pasar nasional bahkan
internasional. Mandiri Craft kini telah menjadi produsen aneka mainan
edukatif yang memiliki dua
showroom besar yaitu di Jl. Parangtritis km 7,5 dan di Jl. Parangtritis km 9 Yogyakarta.
Semoga profil pengusaha Tarjono Slamet yang sukses membuka usaha
setelah bangkit dari bencana, memberikan inspirasi bagi kita semua untuk
terus berkarya, dan tak mudah putus asa. Lakukan apa yang Anda bisa,
dan berikan manfaat bagi orang di sekitar Anda. Selalu ada peluang bila
Anda mau untuk mencobanya. Salam sukses.
6. Kisah Sukses Usaha Jilbab Lima Perempuan Cacat

Keterbatasan kemampuan tubuh ternyata memberi kelebihan dalam tekad
dan semangat berusaha. Berbekal keahlian menyulam, menjahit dan
ketrampilan lainnya sekelompok perempuan penyandang cacat maju ke arena
persaingan pasar dengan membentuk Kelompok Usaha Bersama (KUB)
Anggrek di Dusun Ketiron, Desa-Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, Jawa
Barat. Dalam dua tahun saja, setiap bulan kelompok usaha ini sudah mampu
mengirimkan 8.000 jilbab ke Jakarta, Surabaya serta kota-kota lainnya.
“Awalnya, dua tahun lalu, kami beranggota lima orang yang semuanya
cacat tubuh. Dengan modal seadanya ternyata produksi jilbab kami laris
manis,” kenang Sapto Yuli Ismiarti
ditemui Surya di
sela-sela acara Pasar Ramadan yang berlokasi di halaman Pemkab Pasuruan,
Senin (25/8/2008). Dengan kerja kerasnya bersama empat kawannya yang
lain, usaha perempuan berjilbab beranak tiga yang kakinya harus ditopang
dengan besi ini berhasil berkembang pesat. Dari 5 orang itu, Yuli
berhasil merekrut kawan-kawannya yang juga penyandang cacat hingga 20
orang. Bahkan Yuli dan keempat kawannya juga merekrut tenaga kerja
dengan tubuh normal hingga sebanyak 30 orang.
“Usaha kami berkembang berkat binaan instansi terkait yang sangat
membantu, sehingga order semakin banyak. Kami terus merekrut pekerja
baik yang cacat tubuh maupun yang normal dan total mencapai 50 orang,”
terang Yuli.
Kendati cacat fisik, masing-masing anggota KUB Anggrek memiliki
keahlian khusus. Aprilia, perempuan dengan tinggi tubuh hanya 50
centimeter, ternyata kaki dan tangannya yang pendek itu sangat piawai
mendesain motif jilbab. Lestari, yang kedua kakinya cacat, sangat ahli
menjahit. “Kalau saya kebagian menyulam jilbab dan seharinya minimal
dapat menyelesaikan 25 jilbab. Hasilnya dapat untuk membantu kebutuhan
rumah tangga,” urai Hiroh yang tangan kirinya mengecil ini.
Harga jilbab produksi KUB Anggrek bervariasi antara Rp 4.000 hingga
Rp 70.000. Jilbab yang harganya termurah umumnya dibeli oleh para jamaah
haji untuk dijadikan cinderamata bagi para tamu yang bertandang. Jilbab
yang dihargai Rp 70.000 kualitasnya bagus dengan disain motif sangat
indah, dan peminatnya rata-rata dari kelas ekonomi menengah ke atas.
Pasar Ramadan, yang digelar oleh Pemkab Pasuruan, menampilkan
produk-produk unggulan dari berbagai kecamatan di kabupaten itu.
Tersedia pula tawaran paket sembako murah bagi para pengunjung. Gula
yang di pasaran berharga Rp 5.500, di Pasar Ramadan dijual Rp 4.500
setiap kilonya. Beras yang harga normalnya Rp. 5.000/kilo atau Rp 15.000
untuk tiga kilo dijual dengan harga Rp 12.000 per tiga kilo.
“Pasar Ramadan digelar serempak di delapan kecamatan, dan panitia
menyediakan sebanyak 5.671 paket sembako yang hanya dijual Rp 20.000 per
paket,” kata Noor Edy Putranto, Kabag Perekonomian saat mendampingi
Bupati Pasuruan, Dade Angga.
7. Kisah Hidup Sukses Nick Vujicic Tanpa Tangan Tanpa Kaki

Terlahir sebagai seorang cacat dengan banyak kekurangan…ternyata
tidak menghalangi seorang Nick Vujicic untuk menjadi orang yang
bermanfaat bagi sekitarnya. Sempat depresi dan ingin bunuh diri diusia 8
tahun….namun kemudian dia sadar bahwa hidup harus dia syukuri…apapun
keadaannya. Akhirnya perlahan namun pasti…dia menjadi seorang motivator
hebat yang mendunia…dan berhasil memotivasi jutaan orang di seluruh
dunia untuk terus meraih mimpi. Lebih lanjut mengenai kisah hidup
seorang Nick Vujicic…simak artikel berikut yang saya terjemahkan dari
wikipedia :
Nicholas James Vujicic (lahir 4 Desember 1982) adalah seorang
pengkhotbah, seorang pembicara motivasi dan Direktur organisasi nirlaba
Hidup Tanpa Limbs. Lahir tanpa anggota badan karena gangguan
Tetra-amelia langka, Vujicic harus hidup dengan kesulitan dan
penderitaan sepanjang masa kecilnya.
Namun, ia berhasil mendapatkan lebih kesulitan ini dan, di tujuh
belas, mulai organisasi sendiri nirlaba Life Without Limbs. Setelah
sekolah, Vujicic dihadiri universitas dan lulus dengan besar ganda. Dari
titik ini, ia mulai perjalanan sebagai seorang pembicara motivasi dan
hidupnya menarik lebih banyak liputan media massa. Saat ini, dia secara
teratur memberikan pidato tentang topik, seperti cacat, harapan, dan
menemukan arti hidup.
Kehidupan awal

Anak pertama lahir dari sebuah keluarga Serbia , Nick Vujicic lahir
di Brisbane, Australia dengan gangguan Tetra-amelia langka: tanpa kaki,
hilang kedua lengan di tingkat bahu, dan tak berkaki tapi dengan dua
kaki kecil, salah satu yang memiliki dua jari kaki. Awalnya, orangtuanya
hancur. Vujicic adalah sehat.
Tumbuh

Hidupnya penuh dengan kesulitan dan kesulitan. Salah satunya yang
dilarang oleh hukum negara bagian Victoria dari menghadiri sekolah utama
karena cacat fisik, meskipun ia tidak mengalami gangguan mental. Selama
sekolahnya, undang-undang tersebut berubah, dan Vujicic adalah salah
satu siswa cacat pertama yang akan diintegrasikan ke sekolah mainstream
Ia belajar menulis dengan menggunakan dua jari-jari kaki di kaki
kirinya,. Dan perangkat khusus yang meluncur ke nya jempol kaki yang dia
gunakan untuk pegangan. Dia juga belajar menggunakan komputer dan
mengetik menggunakan “tumit dan kaki” metode (seperti diperlihatkan
dalam pidatonya), melemparkan bola tenis, main drum pedal, menyisir
rambutnya, sikat gigi, menjawab telepon, mencukur dan mendapatkan
dirinya segelas air (juga ditunjukkan dalam pidato).
Epiphany

Ditindas di sekolahnya, Vujicic tumbuh sangat tertekan, dan pada usia
8, mulai memikirkan bunuh diri. Pada usia 10, ia mencoba untuk
menenggelamkan dirinya dalam 4 inci air, tapi tidak pergi melalui dengan
itu dari cinta untuk orang tuanya. Setelah memohon pada Tuhan untuk
tumbuh lengan dan kaki, Nick akhirnya mulai menyadari bahwa prestasi
adalah inspirasi bagi banyak orang, dan mulai bersyukur kepada Tuhan
karena hidup.
Sebuah titik balik penting dalam hidupnya adalah ketika ibunya dia
menunjukkan artikel surat kabar tentang seorang pria berhubungan dengan
cacat berat. Ini dipimpin dia untuk menyadari bahwa ia bukan
satu-satunya dengan perjuangan besar. Seiring berjalannya waktu Nick
mulai memeluk situasinya dan mencapai hal-hal yang lebih besar. Dalam
tujuh kelas Nick terpilih kapten dari sekolah dan bekerja dengan dewan
mahasiswa di sana pada berbagai acara penggalangan dana bagi badan amal
lokal dan kampanye cacat. Ketika ia berumur tujuh belas, ia mulai
memberikan ceramah di kelompok doa nya, dan akhirnya mulai organisasi
non-profit nya, Life Without Limbs.
Pada tahun 2005 Nick dinominasikan untuk “Muda Australia of the Year” Award.
Karir

Nick lulus dari universitas pada usia 21 dengan dua jurusan Akuntansi
dan Keuangan Perencanaan. Ia memulai perjalanannya sebagai seorang
pembicara motivasi, fokus pada topik yang remaja saat ini wajah. Dia
juga berbicara di sektor korporasi, meskipun tujuannya adalah untuk
menjadi seorang pembicara inspirasional internasional, baik di tempat
Kristen dan non-Kristen. Ia secara rutin melakukan perjalanan
internasional untuk berbicara dengan jemaat-jemaat Kristen, sekolah, dan
rapat perusahaan. Dia telah berbicara kepada lebih dari tiga juta orang
sejauh ini, di lebih dari 24 negara di lima benua (Afrika, Asia,
Australia, Amerika Selatan, dan Amerika Utara).
Vujicic mempromosikan karyanya melalui acara televisi seperti The
Oprah Winfrey Show dan juga dengan menulis. Buku pertamanya yang
berjudul Hidup Tanpa Batas:. Inspirasi untuk ridiculously Good Life
(Random House, 2010)
Nya DVD motivasi, Greater Life Purpose, tersedia di website Life
Without Limbs Sebagian dari DVD difilmkan di tahun 2005, menampilkan
film dokumenter singkat tentang kehidupan rumah nya, dan bagaimana ia
melakukan hal-hal biasa tanpa anggota badan.. Bagian kedua dari DVD
difilmkan di gereja setempat di Brisbane, dan merupakan salah satu dari
pidato pertama motivasi profesional. Sebuah DVD bagi kaum muda adalah
berjudul: Tidak Arms, No Legs, No Kekhawatiran: Pemuda Version pidato
motivasi Nya dapat dilihat pada Website Speaker Biro Premiere.. Vujicic
saat ini tinggal di California. pertama televisi Vujicic Wawancara
seluruh dunia, fitur pada 20/20 (ABC) dengan Bob Cummings disiarkan pada
tanggal 28 Maret 2008.
Dia muncul dalam film pendek “The Circus Butterfly” yang memenangkan
Doorpost Film Project’s tahun 2009, dan penghargaan Film Pendek Terbaik
di Method Fest Film Festival, di mana Vujicic juga dianugerahi Aktor
Terbaik dalam film pendek. Butterfly Circus juga baru saja memenangkan
Film Pendek Terbaik di Feel Good Film Festival di Hollywood pada tahun
2010.
8. Kisah Orang Sukses: Menyelesaikan Lomba Marathon Tanpa Kaki

Lomba marathon internasional 1986 di New York diikuti ribuan pelari
dari seluruh dunia. Lomba ini berjarak 42 km, mengelilingi kotaNew York.
Jutaan orang di seluruh dunia menyaksikan acara ini melalui televisi
secara langsung.
Ada satu orang peserta yang menjadi pusat perhatian di lomba
tersebut, yaitu Bob Willen. Bob seorang veteran perang Vietnam. Ia
kehilangan kedua kakinya karena terkena ranjau saat perang. Untuk
berlari, Bob menggunakan kedua tangannya untuk melemparkan badannya ke
depan.
Lomba pun dimulai. Ribuan orang mulai berlari secepat mungkin ke
garis finish. Wajah mereka menunjukkan semangat yang kuat. Para penonton
terus bertepuk tangan mendukung para pelari. 5 km telah berlalu.
Beberapa peserta mulai kelelahan, mulai berjalan kaki. 10 km berlalu.
Saat ini mulai nampak siapa yang mempersiapkan diri dengan baik, dan
siapa yang hanya sekedar ikut untuk iseng-iseng. Beberapa yang kelelahan
memutuskan untuk berhenti dan naik ke bis panitia.
Sementara hampir seluruh peserta telah berada di kilometer ke-5
hingga ke-10, Bob Willen masih berada di urutan paling belakang, baru
saja menyelesaikan kilometernya yang pertama. Bob berhenti sejenak,
membuka kedua sarung tangannya yang sudah koyak, menggantinya dengan
yang baru, dan kemudian kembali berlari dengan melempar-lemparkan
tubuhnya ke depan dengan kedua tangannya.
Ayah Bob yang berada bersama ribuan penonton lainnya tak
henti-hentinya berseru, “Ayo Bob! Ayo Bob! Berlarilah terus.” Karena
keterbatasan fisiknya, Bob hanya mampu berlari sejauh 10 km dalam satu
hari. Di malam hari, Bob tidur di dalam sleeping bag yang telah
disiapkan oleh panitia yang mengikutinya.
Empat hari telah berlalu, dan kini adalah hari kelima bagi Bob
Willen. Tinggal dua kilometer lagi yang harus ditempuh. Hingga suatu
saat, hanya tinggal 100 meter lagi dari garis finish, Bob jatuh
terguling. Kekuatannya mulai habis. Bob perlahan-lahan bangkit dan
membuka kedua sarung tangannya. Nampak di sana tangan Bob sudah
berdarah-darah. Dokter yang mendampinginya sejenak memeriksanya, dan
mengatakan bahwa kondisi Bob sudah parah, bukan karena luka di tangannya
saja, namun lebih ke arah kondisi jantung dan pernafasannya.
Sejenak Bob memejamkan mata. Dan di tengah-tengah gemuruh suara
penonton yang mendukungnya, samar-samar Bob dapat mendengar suara
ayahnya yang berteriak, “Ayo Bob, bangkit! Selesaikan apa yang telah
kamu mulai. Buka matamu, dan tegakkan badanmu! Lihatlah ke depan, garis
finish telah di depan mata. Cepat bangun! Jangan menyerah! Cepat
bangkit!!!”
Perlahan Bob mulai membuka matanya kembali. Garis finish sudah dekat.
Semangat membara lagi di dalam dirinya, dan tanpa sarung tangan, Bob
melompat-lompat ke depan. Dan satu lompatan terakhir dari Bob membuat
tubuhnya melampaui garis finish. Saat itu meledaklah gemuruh dari para
penonton yang berada di tempat itu. Bob bukan saja telah menyelesaikan
perlombaan itu, Bob bahkan tercatat di Guiness Book of Record sebagai
satu-satunya orang cacat yang berhasil menyelesaikan lari marathon.
Di hadapan puluhan wartawan yang menemuinya, Bob berkata, “Saya bukan
orang hebat. Anda tahu, saya tidak punya kaki lagi. Saya hanya
menyelesaikan apa yang telah saya mulai. Saya hanya mencapai apa yang
telah saya inginkan. Kebahagiaan yang saya dapatkan adalah dari proses
untuk mendapatkannya. Selama lomba, fisik saya menurun drastis. Tangan
saya sudah hancur berdarah-darah, tapi rasa sakit di batin saya terjadi
bukan karena luka itu melainkan ketika saya memalingkan wajah saya ke
garis finish. Jadi, saya kembali fokus menatap goal saya. Saya rasa,
tidak ada orang yang gagal dalam berlari marathon ini. Tidak masalah
Anda mencapainya berapa lama, asal Anda terus berlari. Anda disebut
gagal bila Anda berhenti.
9. Farida: Sukses Meski Cacat
Usia Farida Oeyono (47) yang akrab dipanggil Afa baru empat tahun
saat demam menyerangnya. Pagi itu, saat bangun tidur tubuh kecilnya
panas dingin. Kaki Afa lemah tak mampu untuk berjalan. Ia tak lagi
lincah bermain. Berbulan-bulan hanya berbaring.
VIRUS POLIO
Afa memutar ingatannya. Tahun 1964, Pangkal Pinang, Bangka, tempat
tinggalnya belumlah seperti sekarang. Saat itu, fasilitas kesehatan
teramat minim. Bahkan, seingat Afa, di sana hanya ada satu dokter.
Akhirnya orangtua membawa Afa ke sinshe, diberi obat masuk angin.
Tak terbayangkan bahwa itu ternyata virus polio. “Kami tinggal di
kampung, jadi kurang informasi kesehatan. Orangtua mengira cuma masuk
angin biasa,” tutur anak kelima dari delapan bersaudara pasangan Tjen
Sui Ho dan Harjanto Oeyono. Pekerjaan orangtua Afa adalah petani
sederhana dan pedagang es keliling. Mereka sibuk bekerja tiap hari untuk
bisa memenuhi kebutuhan. Oleh sinshe pula, Afa disarankan berobat jalan
dan diterapi di rumah. “Kakek merawat saya hampir setahun. Kaki
direndam air hangat supaya peredaran darah lancar. Kalau pagi, saya
diajak berjemur supaya kena sinar matahari.” Afa belajar berjalan
kembali. Ia membutuhkan bantuan tangan orang lain untuk memegangnya
berjalan. Jalannya tertatih. Langkah demi langkah.
INGIN MANDIRI
1978. Lulus SMEA, Afa nekat keJakarta menyusul kokonya, Muk Sak. Afa
sempat melamar menjadi tukang jahit di perusahaan konveksi. Namun
mengalami kesulitan dengan mesin jahit listrik. Kaki kanan Afa terasa
sakit saat menginjak mesin, bertahan hanya 2 hari saja. Lalu Afa
melontarkan keinginan untuk bekerja pada kokonya. Muk Sak tidak setuju
dan minta Afa tinggal di kampung saja, menerima uang bulanan darinya.
Afa berontak, ia tak mau mengandalkan kiriman. Ia harus bekerja. “Koko
keberatan saya bekerja. Dia nggak tega, tapi tak mampu menolak. Karena
saya bilang, kalau nggak diterima di tokonya, saya akan cari di tempat
lain. Akhirnya saya diterima.” Afa mengerjakan banyak pekerjaan operan
kokonya. Dari pemesanan, ngecek dan mengurus pengiriman barang.
Sedangkan Muk Sak memperluas usaha di luar kota. Seluruh pekerjaan di
Jakarta, di bawah pengawasan Afa. “Wow… tanggung jawab besar. Ini
tantangan. Saya berdoa minta kekuatan Tuhan.” Kadang Afa harus melakukan
pekerjaan dengan cepat. Tenaga kerja terbatas. Afa harus bisa melakukan
pekerjaan seperti ngepak barang-barang dan “lari” ke gudang menghitung
barang masuk.
Ketika melakukan tugas “di luar meja”, orang-orang melihat keadaan
kaki Afa. Inilah proses belajar Afa untuk tidak malu kondisinya
diketahui orang lain. Hampir seluruh teman bisnis adalah kaum pria.
MERINTIS USAHA
Toko bangunan pertama milik kokonya berada di Pasar Jembatan Merah.
Setelah hampir 17 tahun mengerjakan pekerjaan kokonya, Afa tertantang
membuka usaha sendiri. Mampukah? Pertanyaan itu selalu timbul tenggelam
di hati dan Afa coba menepiskan. Bukankah selama ini Tuhan telah
menolong? Melakukan hal-hal yang tak pernah terlintas dipikirannya.
Maka ketika keinginan itu tumbuh di hatinya, Afa membawanya pada
Tuhan. Kerinduan itu hanya disimpan dalam hatinya. Baru dua tahun
kemudian Afa memberanikan diri mengungkapkannya pada salah satu
importir. “Dialah Ko Bun Ing, pemilik Toko Besi Gunung Subur, Surabaya.
Ko Bun Ing menanggapi dengan positif. Dulu, pertama kali melihat kaki
saya, dia bilang nggak perlu malu dan minder.” Afa senang seperti
mendapat tanda untuk bisa mandiri. Masalah selanjutnya, bagaimana ia
menyampaikan keinginannya itu pada kokonya. Ada perasaan tak enak hati,
tapi sesuatu harus dicoba. “Meskipun agak khawatir, koko senang saya mau
berjuang. Cici juga mengkhawatirkan kondisi saya, bagaimana kalau orang
meremehkan dan menipu saya. Namun akhirnya mereka melepas saya…”
Selama bekerja, Afa rajin menabung. Menyimpan uangnya dari tahun ke
tahun. Tabungan itulah yang dipakainya merintis usaha di tahun 1995.
Ditambah lagi Muk Sak memberinya uang jasa.Afa kaget ketika beberapa
importir menelepon mengucapkan selamat atas langkah beraninya. Tak hanya
itu. Mereka juga mengatakan siap menyuplai barang-barang yang
dibutuhkan Afa. “Ko Bun Ing telepon ke importir lain untuk bantu saya.
Bahkan dia bilang akan back up kalau usaha saya ada apa-apa.”
RANCANGAN-NYA INDAH
Dua belas tahun sudah, Afa punya usaha sendiri. Menyemai harapan
dalam keterbatasan. Kerja kerasnya membuahkan hasil. Afa membeli dan
menempati ruko Permata Kota berlantai 3 di daerah Tubagus Angke, Jakarta
Barat. Di tempat inilah Afa ngantor. Selain toko-toko bangunan di
Jakarta, Afa juga memasok di daerah Sumatera, Jambi, Palembang, Lampung,
dan tempat kelahirannya, Bangka. “Kalau ketemu teman sewaktu di Bangka,
mereka suka bilang, nggak kira Fa, kamu bisa begini… Saya bilang ini
karena pertolongan Tuhan.”
Melalui jerih payahnya, Afa bisa keliling ke banyak negara. Salah
satunya melancong ke Gedung Putih, WashingtonDC. Ah, manalah terpikir
semua itu. “Di Gedung Putih saya terharu banget, ketika datang langsung
disambut polisi wanita. Dia mengawal, melayani penuh keramahan dan
memberikan jalur khusus karena kondisi kaki saya. Saat di lift, momen
tak terlupakan. Kursi roda saya menginjak kaki tentara, eeh malah dia
yang berulang kali minta maaf. Padahal seharusnya saya yang minta maaf.
Di negara Barat mereka sangat mengutamakan penyandang cacat,” ungkap
penyuka olah raga tenis itu. Bertemu banyak orang, Afa kerap ditanya
mengenai berbagai hal. Dari keterbatasan fisik sampai kehidupan
pribadinya.
“Ada yang langsung tanya, anak sudah berapa? Saya jawab ada dua,
laki-laki dan perempuan. Mereka di pedalaman Papua di Pantai Kasuari.
Setelah menyantuni mereka lewat World Vision, saya seperti punya anak.
Suatu kali nanti saya ingin bertemu mereka,” tutur Afa yang masih
melajang itu tertawa. Ia bahagia, bersyukur bisa menolong orang lain
mendapatkan pendidikan. Afa tergabung di Laetitia, sebuah lembaga
pelayanan bagi penyandang cacat. “Padahal dulu kalau ketemu orang cacat
saya sering ngumpet. Gimana ya,” kenangnya tertawa lepas. Hidup Afa
membuktikan bahwa tak ada yang mustahil bagi-Nya.
10. Gadis Cilik di China tanpa dua kaki mampu berjalan dan berenang

Qian Hongyan, yang dipaksa untuk menggunakan setengah bola basket
sebagai tubuh palsu itu, menginspirasi jutaan orang dengan ambisinya
untuk bersaing sebagai perenang dalam Pralimpiade 2012 di London.
Pada tahun 2000, Qian Hongyan, terluka tragis dalam sebuah kecelakaan
mobil ketika ia masih 3 tahun. Untuk menjamin kelangsungan hidupnya,
para dokter terpaksa mengamputasi kakinya.
Keluarga Qian , tinggal di Zhuangxia, Cina, tidak mampu membayar
prosthetics modern dan sebagai gantinya digunakan setengah bola basket
untuk Qian berjalan. Setelah pada bola, dia menggunakan dua alat peraga
kayu untuk membantu bergerak di sekeliling.
Dia berjuang untuk hidup dengan basket sebagai sebuah underprop,
‘berjalan’ antara sekolah dan rumahnya. Cerita gadis itu dilaporkan
secara luas di negara tersebut, dan menarik perhatian Kementerian
Keamanan Cina dan Pusat Rehabilitasi dan Riset China. Qian sekarang
memiliki sepasang kaki palsu yang tepat, tapi masih mengatakan dia suka
menggunakan bola basket dari waktu ke waktu karena lebih mudah baginya
untuk masuk dan keluar dari kolam.
sumber
https://abriantonugraha.wordpress.com/2012/10/29/10-orang-pengusaha-cacat-yang-sukses/
SUMBER
http://www.kaskus.co.id/thread/531797815dcb175c5500008b/tidak-ada-jalan-buntu-mereka-buktinya

Roy Angel adalah ustadz miskin yang memiliki kakak seorang milyuner.
Pada tahun 2009, ketika bisnis minyak bumi sedang mengalami puncak,
kakaknya menjual padang rumput di Texas pada waktu yang tepat dengan
harga yang sangat tinggi. Seketika itu kakak Roy Angel menjadi kaya
raya.
Setelah itu kakak Roy Angel menanam saham pada perusahaan besar dan
memperoleh untung yang besar. Kini dia tinggal di apartemen mewah di
Jakarta dan memiliki kantor di Di sana. Seminggu sebelum Hari raya,
kakaknya menghadiahi Roy Angel sebuah mobil baru yang mewah dan
mengkilap.
Suatu pagi seorang anak gelandangan menatap mobilnya dengan penuh kekaguman.
"Hai.. nak" sapa Roy Anak itu melihat pada Roy dan bertanya "Apakah ini mobil Tuan?" "Ya," jawab Roy singkat.
"Berapa harganya Tuan?"
"Sesungguhnya saya tidak tahu harganya berapa".
"Mengapa Tuan tidak tahu harganya, bukankan Tuan yang punya mobil ini?" Gelandangan kecil itu bertanya penuh heran.
"Saya tidak tahu karena mobil ini hadiah dari kakak saya"
Mendengar jawaban itu mata anak itu melebar dan bergumam, "Seandainya.
...seandainya. ..." Roy mengira ia tahu persis apa yang didambakan anak
kecil itu. "Anak ini pasti berharap memiliki kakak yang sama seperti
kakakku."
Ternyata Roy salah menduga, saat anak itu melanjutkan kata-katanya:
"Seandainya. .. seandainya saya dapat menjadi kakak seperti itu....."
Dengan masih terheran-heran Roy mengajak anak itu berkeliling dengan
mobilnya.
Anak itu tak henti-henti memuji keindahan mobilnya. Sampai satu kali
anak itu berkata, "Tuan bersediakah mampir ke rumah saya ? Letaknya
hanya beberapa blok dari sini". Sekali lagi Roy mengira dia tahu apa
yang ingin dilakukan anak ini. "Pasti anak ini ingin memperlihatkan pada
teman-temannya bahwa ia telah naik mobil mewah." pikir Roy . "OK,
mengapa tidak", kata Roy sambil menuju arah rumah anak itu.
Tiba di sudut jalan si anak gelandangan memohon pada Roy untuk berhenti
sejenak, "Tuan, bersediakah Tuan menunggu sebentar? Saya akan segera
kembali". Anak itu berlari menuju rumah gubuknya yang sudah reot.
Setelah menunggu hampir sepuluh menit, Roy mulai penasaran apa yang
dilakukan anak itu dan keluar dari mobilnya, menatap rumah reot itu.
Pada waktu itu ia mendengar suara kaki yang perlahan-lahan. Beberapa
saat kemudian anak gelandangan itu keluar sambil menggendong adiknya
yang lumpuh. Setelah tiba di dekat mobil anak gelandangan itu berkata
pada adiknya: "Lihat... seperti yang kakak bilang padamu. Ini mobil
terbaru. Kakak Tuan ini menghadiahkannya pada Tuan ini. Suatu saat nanti
kakak akan membelikan mobil seperti ini untukmu".
Bukan karena keinginan seorang anak gelandangan yang hendak
menghadiahkan mobil mewah untuk adiknya yang membuat Roy tak dapat
menahan haru pada saat itu juga, tetapi karena ketulusan kasih seorang
kakak yang selalu ingin memberi yang terbaik bagi adiknya. Seandainya
saya dapat menjadi kakak seperti itu.
Kisah ini diambil dari sebuah kisah nyata yang ditulis dalam sebuah buku "Stories for the family's heart" by Alice Gray.
SUmber (kisahin.blogspot.com)
Lathifah, Penyandang Tunarungu yang Menjadi Model Cantik dan Peraih Beasiswa

KOMPAS.com — Keterbatasan pendengaran karena menyandang tunarungu tak
membuat Siti Nur Lathifah patah semangat mengejar mimpi. Dengan penuh
kerja keras, ia melewati masa-masa kritis akibat minder dengan
pendengarannya itu, sampai akhirnya meraih beasiswa Bidikmisi. Berkat
prestasinya, ia bisa bertemu langsung menteri dan presiden.
Siti Nur Lathifah adalah satu dari sekian banyak kisah menarik dan
inspiratif yang diceritakan dalam buku Kebangkitan Kaum Duafa pada acara
silaturahim Bidikmisi di Jakarta, Kamis (27/2/2014) lalu. Buku itu
diserahkan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh
kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sepintas, penampilan gadis setinggi 166 cm yang berkerudung itu tak
berbeda dengan perempuan lainnya. Wajahnya terlihat tak kurang satu apa
pun. Perbedaan baru terlihat ketika dia berbicara. Tidak hanya bibirnya
yang bergerak, kedua tangannya pun ikut serta menerjemahkan tiap detail
kata-katanya.
Mahasiswi Jurusan Seni Rupa di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa
Timur, itu memang mengalami keterbatasan dalam pendengaran. Tetapi,
keterbatasan fisik tersebut tak lantas membuat mahasiswi angkatan 2011
ini berhenti berprestasi.
Perempuan asal Semarang yang lahir dari pasangan Mulyono dan Munawaroh
ini sangat menggemari dunia model. Dari dunia inilah ia banyak mendulang
prestasi.
Ia sebenarnya lahir seperti bayi normal pada umumnya. Pendengarannya
mengalami gangguan ketika berumur tujuh tahun. Dia mengalami kecelakaan
ketika bermain sepeda.
"Akibatnya, saya tidak bisa mendengar," ujar Lathifah, panggilan akrab mahasiswi ini.
Saat kecil, Lathifah sering ditinggal orangtuanya untuk mencari nafkah.
Bapaknya bekerja sebagai tukang bangunan, sementara ibunya menjadi buruh
toko sablon. Praktis, ia bermain tanpa pengawasan.
Sejak kecelakaan dan akibatnya itu, Lathifah selalu berupaya menerima
keterbatasan dirinya. Hanya saja, dia mengungkapkan, pernah pada suatu
masa dirinya sangat merasa minder. Puncaknya terjadi ketika dia
menginjak kelas X.
"Saya sangat minder, tidak percaya diri, karena sering diejek teman-teman yang normal,” tutur Lathifah.
Lantaran sering mendapat ejekan, Lathifah mengaku sempat marah dan
kecewa kepada Tuhan. Tetapi, banyak orang di sekelilingnya yang
menguatkan dan memotivasinya. Kepala sekolahnya pun sering mengajaknya
mengikuti berbagai seminar motivasi.
Sampai akhirnya, sejak kelas XI, Lathifah lambat laun sadar dan bisa
menerima keadaan. Dia tak lagi fokus pada keterbatasan dirinya, tetapi
mulai menyibukkan diri dengan hobi, yaitu fesyen dan tata rias.
Lathifah mulai banyak mengikuti dan memenangi lomba-lomba. Satu demi
satu prestasi diraihnya. Secara bertahap, kepercayaan dirinya bahkan
kian menguat.
"Saya semakin mensyukuri anugerah Tuhan yang dititipkan kepada diri
saya. Meskipun saya memiliki keterbatasan, tapi saya bisa berprestasi,"
tuturnya.
Kuliah normal
Lulus dari SMA, Lathifah merasa harus menghadapi perjuangan berat
lainnya. Ia harus bisa meneruskan pendidikan ke jenjang lebih tinggi,
yaitu perguruan tinggi.
"Saya anak terakhir dari empat bersaudara. Ketiga kakak laki-laki saya sudah menikah dan tidak ada yang kuliah," ungkapnya.
Lathifah mengaku maklum akan hal itu. Penghasilan orangtuanya tak
mencukupi untuk menyekolahkan keempat anaknya di perguruan tinggi.
Karena itulah, sejak awal, Lathifah menabung hadiah yang diperolehnya
setelah memenangi sejumlah lomba fesyen.
"Dari uang tabungan itulah saya bisa mendaftar kuliah, dan
alhamdulillah, saya mendapat bantuan Bidikmisi. Itu sangat membantu dan
meringankan beban orangtua saya," ucapnya.
Lathifah lalu memilih Jurusan Seni Rupa di Universitas Brawijaya,
Malang, Jawa Timur. Tak salah pilih, karena memang itulah jurusan yang
diinginkannya.
Ia juga mengaku bersykur karena kakaknya tinggal di kota itu. Lathifah
pun lolos mengikuti setiap seleksi dan diterima di kampus impiannya itu.
"Sebenarnya orangtua melarang saya untuk pergi jauh dari Semarang," tuturnya.
Jalan hidup Lathifah pun berubah. Ia terus memenangi beragam lomba
fesyen yang diikuti orang-orang "normal". Ia mengaku, hanya dirinya
peserta yang menderita tunarungu. Ia akui, semua itu mengokohkan
kepercayaan dirinya.
Namun, Lathifah berkisah, pencapaian terbesarnya saat ini adalah bisa
kuliah bersama mahasiswa yang normal. Sejak SD, Lathifah selalu ditolak
ketika ingin masuk sekolah umum. Akibatnya, ia selalu masuk sekolah
berkebutuhan khusus.
"Sekarang, saya bisa kuliah di dengan orang-orang normal. Saya senang sekali," ucapnya.
Lathifah mengaku beruntung kuliah di kampus tersebut. Pasalnya, ada
sejumlah sukarelawan kerap membantu Lathifah bersosialisasi dan
berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Sukarelawan itu datang dari
Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD).
"Tapi, selama ini, seperti di kelas, saya dibantu oleh teman-teman di sekeliling saya," ucapnya.
Misalnya, ketua kelasnya banyak membantu Lathifah dengan cara berbicara
oral secara perlahan-lahan agar Lathifah bisa membaca gerak bibirnya.
Sebaliknya, teman-teman Lathifah belajar bahasa isyarat.
"Jadi, kami sama-sama belajar dan sama-sama mengerti," tuturnya.
Berangkat dari saling pengertian itulah, Lathifah mengaku tidak banyak
menemui kesulitan saat menuntut ilmu. Para dosennya kebanyakan sudah
tahu keadaan dirinya sehingga mereka bisa menyesuaikan diri dengan
dirinya. Ada dosen yang baik dan mau menerangkan dengan berbicara
pelan-pelan sehingga Lathifah bisa mengerti. Ketika ada hal atau kata
yang tidak dimengertinya, Lathifah langsung bertanya, baik kepada teman
maupun langsung kepada dosen.
"Saya sering berdiskusi dengan dosen terkait hal-hal yang tidak saya
mengerti di perkuliahan. Alhamdulillah, dosen-dosen banyak membantu,"
tuturnya.

Hobi dan ilmu
Pencapaian Lathifah dengan segala keterbatasannya itu menarik program
salah satu televisi swasta. Lathifah didapuk menjadi narasumber di
program Kick Andy. Ia mengaku tak menyangka dijadikan narasumber dan
duduk di kursi depan (Kick Andy edisi 13 Desember 2013).
Pada acara bertema "Keterbatasan Bukan Halangan" itu hadir lima
narasumber lain yang semuanya memiliki keterbatasan fisik. Mereka antara
lain Gede Ade Putra Herawan (tunarungu wicara), Noni Kartika (SDLB/C,
tunagrahita), dan Dwi Erwanti (penyandang cacat kaki). Lathifah
mengakui, sejak tayangan itulah banyak orang yang mengenal dirinya dan
mengaku termotivasi.
"Saya senang jika kehadiran saya dapat menginspirasi orang lain," ucapnya.
Kini, Lathifah mulai merancang masa depan. Setelah lulus kuliah, dia
ingin menggabungkan hobi dan ilmu yang didapatnya di bangku kuliah. Ia
ingin menjadi desainer dan memiliki butik muslimah.
Lathifah berterima kasih kepada pemerintah yang sudah membuat program
Bidikmisi. Beasiswa ini membantu dirinya mewujudkan cita-citanya. Dia
berharap banyak rekannya, khususnya yang punya keterbatasan ekonomi,
tidak menyerah.
"Kalau orang yang tidak bisa mendengar saja bisa, mengapa mereka tidak
bisa. Kalau orang yang tidak bisa melihat saja bisa, tentunya mereka
juga lebih bisa," katanya.
Ihwal cara mengatasi keterbatasan, Lathifah mengaku hal itu memang sulit, tetapi bukan sesuatu yang mustahil dilakukan.
"Jangan fokus pada kelemahan atau keterbatasan, tapi percayalah pada
kekuatan diri, bahwa itu kelebihan yang diberikan Tuhan," ujar Lathifah.
Lathifah juga mengaku, orang dengan keterbatasan seperti dirinya tidak boleh malas.
"Ingatlah orangtua kita ketika malas datang. Ingat jerih payah mereka,
keringat mereka untuk membiayai kita. Itulah yang akan membuat kita
kembali bersemangat dan tidak lagi malas. Buatlah mereka bangga!"
ucapnya. sumber (edukasi.kompas.com)
Spoiler for Zikriyati Berprestasi meskipun cacat fisik:
Quote:

CACAT tidak menjadi halangan untuk meraih prestasi. Buktinya, Zikriyati,
murid kelas V SDLB Negeri Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) ini
tampil menjadi uara III mata pelajaran MIPA Tingkat Provinsi Aceh tahun
2011.
Meskipun kondisi fisik mengalami cacat fisik atau tuna daksa, gadis
kecil kelahiran Desa Pulau Kayu, Kecamatan Susoh, 12 Maret 2000 tampil
penuh percaya diri dalam uji kemampuan dengan murid lain se-Aceh.
Putri pasangan Tgk M Yunus dan Khadijah tersebut, menurut dewan guru
sekolah luar biasa sudah berprestasi sejak kelas I dalam mata pelajaran
MIPA. Ditanya cita-cita, Zikriyati, tertunduk lesu. Dia tidak mamu
menjawab seperti ada beban berat yang ditanggung.
Menurut Kepala SDLB Negeri Susoh, Murniati SPd, dari beberapa kesempatan
bincang-bincang dengan Zikriyati menyatakan sangat berkeinginan
melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB)
setelah menamatkan SDLB Susoh, tapi pesimis karena kondisi perkenomian
kedua orangtuanya adalah keluarga tidak mampu.
Sang ayah, Tgk Yunus, juga penyandang tuna daksa, untuk kehidupan
sehari-hari keluarga miskin ini beusaha kecil-kecilan pada sebuah kios
di Desa Pulau Kayu.
Memberi semangat, Murniati mengaku sudah berbicara dari hati ke hati
dengan muridnya, Zikriyati dan orangtuanya. Kepada orang tuanya
disampaikan bahwa ciata-cita melanjutkan pendidikan ke jenjang SMPLB
tidak ada masalah karena dapat mengikuti pendidikan secara gratis dari
bantuan pemerintah. “Mendengar kabar seperti itu Zukriyati cukup
bersemangat,” ungkap Murniati.
Semangat belajar terpacu sehingga meraih juara III mata pelajar MIPA Tingkat Provinsi Aceh tahun 2011.
Kecuali Zykriyati, tercatat tiga murid SDLB Negeri Susoh yang meraih
prestasi Tingkat Provinsi Aceh tahun 2011. Miftahul Jannah meraih juara I
olah raga catur dan Miftahun Jannah juga berhasil menempati juara II
cerdas cermat. Harnizar meraih juara II melukis, dan M Najir meraih
juara II kursi roda. Ketiga murid tersebut baru saja menyelesaikan
pendidikan di SDLB Negeri Susoh. (zainun yusuf) [RIGHT]SUMBER[/RIGHT] (aceh.tribunnews.com)